Senin, 25 Mei 2009

Hiperbilirubin-KTI Bidan

Norma Trionika (D3 STIKes Medika Cikarang-Bekasi)
created by : Sayf182 (sayfganteng@yahoo.com)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang.
Tingkat kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu indicator di suatu Negara. Angka kematian Maternal dan Neonatal masih tinggi, salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka tersebut dengan memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas kepada masyarakat yang belum terlaksana (Prawirohardjo, 2005).
Angka kematian bayi di negara-negara ASEAN seperti Singapura 3/1000 per kelahiran hidup, Malaysia 5,5/1000 per kelahiran hidup, Thailand 17/1000 per kelahiran hidup, Vietnam 18/1000 per kelahiran hidup, dan Philipina 26/1000 per kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian bayi di Indonesia cukup tinggi yakni 26,9/2000 per kelahiran hidup (Depkes, 2007).
Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolak ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2005 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati biliaris (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati biliaris merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Angka kejadian bayi hiperbilirubin berbeda di satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam faktor penyebab dan penatalaksanaan. Angka kejadian hiperbilirubin pada bayi sangat bervariasi. Di RSCM tahun 2007, persentase hiperbilirubin pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,95%.
Ikterus adalah suatu keadaan kulit dan membran mulcosa yang warnanya menjadi kuning akibat peningkatan jumlah pigmen empedu di dalam darah dan jaringan tubuh. Hiperbiliirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubiin mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterus, jika tidak ditanggulangi dengan baik. Sebagian besar hiperbilirubin ini proses terjadinya mempunyai dasar yang patologik. (Sarwono, 2005).
Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan ada sebagian lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Oleh karena itu setiap bayi dengan ikterus harus dapat perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat >5 mg/dL dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari satu minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang menunnjukkan kemungkinan adannya ikterus patologis (hiperbilirubinemia).
Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai adalah unntuk mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia. Sampai saat ini cara-cara itu dapat dibagi dalam 3 jenis usaha, yaitu:
1. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran hiperbilirubin.
2. Mengubah bilirubin menjadi bentuk yang tidak toksik dan dapat dikeluarkan melalui ginjal dan usus, misalnya dengan terapi sinar ( Phototerapy).
3. Mengeluarkan biilirubin dari peredaran darah, yaitu dengan transfuse tukar darah.
Setiap bayi yang menderita ikterus perlu diamati apakah fisiologis atau akan bekembang menjadi ikterus patologis. Anamnesis kehamilan dan kelahiran sangat membantu penngamatan klinik ini dan dapat menuntun kita untuk melakukan pemeriksaan yang tepat.
Berdasarkan data tersebut penulis tertarik untuk mencoba melakukan penelitian sederhana mengenai “Karakteristik pada neonatus dengan hiperbirubin” di RSU Cibitung, Bekasi Periode Januari-Juli 2009.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya yaitu “Bagaimana karakteristik pada Neonatus dengan hiperbilirubin di RSU Cibitung, Bekasi Periode Januari-Juli 2009?”.
C. Tujuan penelitan
1. Tujuan umum
Mengetahui karakteristik pada neonatus dengan hiperbilirubin di RSU Cibitung, Bekasi Periode Januari-Juli 2009.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui hiperbilirubin pada neonatus denga karakteristik usia gestasi.
b. Mengetahui hiperbilirubin pada neonatus denga karakteristik berat badan lahir.
c. Mengetahui hiperbilirubin pada neonatus denga karakteristik jenis persalinan.
d. Mengetahui hiperbilirubin pada neonatus denga karakteristik jenis kelamin.



D. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
Menambah kajian pustaka tentang hiperbilirudin pada neonatus.
2. Manfaat praktis
a. Bagi RSU Cibitung, Bekasi
Hasil peelitian dapat digunakan untuk meningkatkan upaya pencegahan hiperbi.lirubin pada neonatus khususnya di RSU Cibitung, sehingga angka kejadian hiperbilirubin dapat menurun
b. Bagi institusi pendidikan
Sebagai masukan dalam meningkatkan informasi ilmu kebidanan dan sebagai bahan pembanding bagi perkembangan ilmu kebidanan di masa yang akan dating.
c. Bagi penulis
Selain menambah wawasan juga sebagai masukan tentang penatalaksanaan manajemen kebidanan pada neonatus dengan hiperbilirubin yang bermutu sesuai dengan standar.
E. Ruang lingkup penelitian
1. Ruang lingkup ilmuwan
Ruang lingkup ilmuwan yang digunakan yaitu ilmu kesehatan maternal dan neonatal.
2. Ruang lingkup masalah
Ruang lingkup masalah yang akan dipaparkan yaitu karakteristik hiperbilirubin pada neonatus di RSU Cibitung, Bekasi Periode Januari-Juli 2009.
3. Ruang lingkup metode
Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriftif dengan mengolah data sekunder dengan melihat status pasien di medical record.
4. Ruang lingkup populasi dan sample
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi baru lahir di RSU Cibitung, Bekasi Periode Januari-Juli 2009, sedangkan sample yang digunakan adalah sebagian bayi baru lahir yang mengalami hiperbilirubin di RSU Cibitung, Bekasi Periode Januari-Juli 2009.
5. Ruang lingkup tempat dan waktu
Tempat : RSU Cibitung, Bekasi
Waktu : Tanggal 20-22 Juli 200


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ikterus ( Jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi dalam darah, sehingga kulit ( terutama) dan atau bayi ( neonatus) tampak kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dL, sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5 mg/dL (www.yanmedik-depkes.net).
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia dibagi dua, Yaitu : hiperbilirubinemia fisiologis dan hiperbilirubinemia patologis. Hiperbilirubinemia fisiologis apabila kadar bilirubin tidak >10 mg/dL pada bayi kurang bulan dan <12 md/dL pada bayi cukup bulan. Hiperbilirubinemia patologis apabila kadar bilirubin total >12 mg/dL pada bayi cukup bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan bila kadar >10 mg/dL (www.yanmedik-depkes.net).
Sedangkan kern ikterus adalah suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak terkonjungsi dalam sel-sel otak. Kern ikterus adalah perlekatan bilirubin di otak terutama pada korpus stratum, thalamus, nucleus subtalamus, hipokorpus, nucleus merah dan nucleus pada dasar ventrikulus IV (www.medlinux.blogspot.com).
B. Klasifikasi Ikterus
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Timbul pada hari kedua- ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10 mg/dL pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tak melebihi 5 mg/dL per hari.
d. Kadar bilirubin direk ( larut dalam air) kurang dari 1 mg/dL.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.

2. Ikterus Patologis/ Hiperbilirubinemia
Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu:
- Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
- Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10 mg/dL pada neonatus kurang bulan.
- Ikterus dengan peningkatan bilirubun lebih dari 5 mg/dL per hari.
- Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
- Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui.
- Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dL.
3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada pada korpus stratum, thalamus, nucleus subtalamus, hipokorpus, nucleus merah dan nucleus pada dasar ventrikulus IV.

C. Metabolisme Bilirubin
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut:
1. Produksi
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin disertai beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reproduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekspresikan dan mudah melalui membrane biologic seperti plasma dan sawar darah otak.
2. Transportasi
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan sehingga masuk kedalam sel hati. Segera setrelah ada dalam sel hati terjadi persenyawaan dalam ligandin ( protein-Y), protein-Z dan glutation hati lain yang membawa ke reticulum endoplasma hati, tempat terjadinya konjugasi.
3. Konjugasi
Di dalam hepar bilirudin mengalami proses konjugasi. Proses ini timbul karena adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirudin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal.



4. Ekskresi
Sebagian besar bilirudin yang terkonjungsi ini diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorpsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses enterohepatik. Pada janin sebagian bilirubin yang diserap kembali diekskresi melalui plasenta. Pada BBL ekskresi melalui plasenta terputus, karena itu bila fungsi hepar belum matang atau terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis, atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, maka keadaan bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun, sehingga terjadi akumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa di kemudian hari. Karena itu bayi penderita ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan patologik. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada konsentrasi tertentu (hiperbilirubinemia), pemeriksaan lengkap harus dilakukan untuk mengetahui penyebabnya sehingga pengobatan pun dapat dilaksanakan secara dini. Kadar bilirubin yang menimbulkan efek patologik ini disebut hiperbilirubinemia.
Hemolisis








Gambar 2.1 Metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.
D. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan:
1. Peningkatan produksi :
a. Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
b. Pendarahan tertutup, misalnya pada trauma kelahiran.
c. Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdepat pada bayi hipoksia atau asidosis.
d. Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase).
e. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol (steroid).
f. Kurangnya enzim glukoronil transeferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat, misalnya pada berat badan lahir rendah.
g. Kelainan congenital (Rotor Syndrome) dan dubin hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya pada hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikro organisme atau toksin yang langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmosis, siphilis.
4. Gangguan ekspresi yang terjadi intra atau ekstra hapatik.
5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.

E. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi, misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Saat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dL.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia, dan hipoglikemia.
F. Tanda dan Gejala
1. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar.
2. Letargik ( lemas).
3. Kejang.
4. Tidak mau menghisap.
5. Dapat tuli, gangguan bicara, dan retardasi mental.
6. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
7. Perut buncit.
8. Pembesaran pada hati.
9. Feses berwarna seperti dempul.
10. Tampak ikterus, sclera, kuku, kulit dan membrane mukosa. Kuning pada 24 jam pertama yang disebabkan oleh penyakit hemolitik waktu lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetic/ infeksi.
11. Muntah, anoreksia, warna urin gelap.

G. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Pda kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus.

H. Penegakan Diagnosis
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostic dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkuntan.
- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
2. Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini meupakan tindakan invasive yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sample serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil).
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total >20 mg/dL atau usia bayi >2 minggu.
3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrument spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirumenia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14,4 mg/dL (249 umol/l). dari penelitian ini didapat bahwa pemeriksaan Tcb dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0,76, p<0,0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi perokdasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirudin bebas, tatalaksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
I. Penilaian Ikterus Menurut Kramer
Sebaiknya penilaian ikterus dilakukan secara labratorium, apabila tidak memungkinkan dapat dilakukan secara klinis.
Memeriksa tanda-tanda ikterus (kuning)
Jika tanda-tanda ikterus (kuning) :
a. Tanyakan
Saat timbulnya kuning
b. Lihat dan raba
Pemeriksaan tanda-tanda bahaya umum:
1. Tidak bisa minum atau menetek
2. Memuntahkan semuanya
3. Kejang atau riwayat kejang yang berhubungan dengan sakit ini
4. Sulit dibangunkan atau tidak sadar
Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan resiko terjadinya kern ikterus, misalnya kadar bilirubin bebas, kadar bilirubin 1 dan 2, atau secara klinis (Kramer).

Gambar 2.2: Daerah kulit bayi yang berwarna kuning untuk penerapan rumus.
Tabel 2.1 : Rumus Kramer (Saifuddin, 2002)
Daerah ( Lihat gambar) Luas Ikterus Kadar bilirubin ( mg%)
1 Kepala dan leher 5
2 Daerah 1, badan bagian atas 9
3 Daerah 1, 2, bagian bawah dan tungkai 11
4 Daerah 1, 2, 3, lengan dan kaki di bawah dengkul 12
5 Daerah 1, 2, 3, 4, tangan dan kaki 16

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Ikterus
Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang atau diagnosis lainnya yang sudah diketahui Kemungkinan diagnosis
• Timbul saat lahir hari ke-2.
• Riwayat ikterus pada bayi sebelumnya.
• Riwayat penyakit keluarga: ikterus, anemia, pembesaran limfa, defisiensi G6PD Sangat ikterus
Sangat pucat Hb <13 g/dL, Ht <39% Bilirubin >8 mg/dL pada hari ke-1 atau kadar bilirubin >13 mg/dL pada hari ke-2 ikterus/ kadar bilirubin cepat. Bila ada fasilitas: Coombs tes positif defisiensi G6PD inkompatibilitas golong darah ABO atau Rh Ikterus hemolitik akibat inkompatibilitas darah
• Timbul saat lahir sampai dengan hari ke-2 atau lebih.
• Riwayat infeksi maternal Sangat ikterus
Tanda infeksi/ sepsis: malas minum, kurang aktif, tangis lemah, suhu tubuh abnormal Lekositosis, leukopeni, trombositopenia Ikterus diiduga karena infeksi berat/ sepsis
• Timbul pada hari ke-1.
• Riwayat ibu hamil pengguna obat.
• Ikterus hebat timbul pada hari ke-2.
• Ensefalopati timbul pada hari ke 3-7.
• Ikterus hebat yang tidak atau terlambat diobati.
• Ikterus menetap setelah usia 2 minggu.



• Timbul hari ke-2 atau lebih.
• Berat bayi lahir rendah Ikterus



Sangat ikterus, kejang, abnormal, letargi



Ikterus berlangsung >2 minggu pada bayi cukup bulan dan >3 minggu pada bayi kurang bulan




Bayi tampak sehat



Bila ada fasilitas: hasil tes Coombs positif



Faktor pendukung: urin gelap, feses pucat, peningkatan bilirubin direks Ikterus akibat obat



Ensefalopati





Ikterus berkepanjangan ( prolonged ikterus)






Ikterus pada bayi premature
(Depkes, 2007)

J. Penatalaksanaan
1. Ikterus fisiologis
a. Beri ASI sesering mungkin selama bayi menginginkan.
b. Jaga agar bayi tetap hangat dengan menerapkan metode kanguru, kepala bayi ditutup dengan topi. Ganti pakaian/selimut bayi setiap kali basah dengan yang kering, bersih dan hangat.
c. Baringkan bayi dalam ruangan dekat jendela dengan penyinaran cukup (sinar matahari pagi) selama 30 menit. Untuk 3-4 hari.
d. Anjuran segera ke puskesmas/bidan di desa bila ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
- Bayi bertambah parah.
- Kotoran bayi warna dempul.
e. Anjurkan ibu control setelah 2 hari.
2. Tata laksana hiperbilirubinemia
a. Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas factor rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.
• Bila nilai bilirubin serum memenuhi criteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
• Bila rujukan untuk dilakukan transfuse tukar memungkinkan:
 Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfuse tukar, kadar hemoglobin <13 mg/dL dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
 Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin <13 mg/dL.
 Bila bayi dirujuk untuk transfuse tukar:
• Persiapkan transfer.
• Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau sekunder dengan fasilitas transfuse tukar.
• Kirim contoh darah ibu dan bayi.
• Jelaskan kepada bayi tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa peerlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
• Nasihati ibu.
 Bila penyebab ikterus adalah inkompatiibilitas rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini, karena berhubungan dengan kehamilan berikutnya.
 Bila bayi mengalami defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemilisis pada bayi (contoh: obat anti malaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin, dll).
• Bila hemoglobin <10 mg/dL (hematokrit <30%), berikan transfuse darah.
• Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir <2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
• Follow up setelah kepulangan. Periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu, bila hemiglobin <8 g/dL (hematokrit <24%) berikan transfuse darah.
b. Ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice)
• Diagosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
• Terapi sinar dihentikan dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
• Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
• Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis congenital.

Indikasi:
Tabel 2.3 Indikasi terapi sinar berdasarrkan kadar blirubin serum.
Usia Bayi Cukup Bulan Sehat Dengan faktor resiko
mg/dL µmol/l Mg/dL µmol/l
Hari ke-1 Kuning terlihat pada bagian tubuh manapun
Hari ke-2 15 260 13 220
Hari ke-3 18 310 16 270
Hari ke-4 dan seterusnya 20 340 17 290
a. Faktor resiko meliputi: bayi kecil ( berat lahir <2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan berusia 37 minggu), hemolisis dan sepsis.
b. Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama da terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat parah dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk terapi sinar.

Tabel 2.4 Indikasi terapi sinar pada bayi berat badan lahir rendah.
Berat badan ( gr) Kadar bilirubin (mg/dL)
<1000 Fototerapi dimulai dalam usia 24 jam pertama
1000-1500 7 – 9
1500-2000 10 – 12
2000-2500 13 – 15

 Terapi sinar
 Mekanisme kerja
Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi ireversibel meenjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bila diekskresikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bsa diekskreskan lewat urin.
 Terapi sinar konvensional
Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 µwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru ( F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat (Hal ini secara umum tidak mengkhawatirkan). Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah unit terapi sinar standard an dua tabung daylight fluorescent pada setiap bagan samping unit.
 Teknik terapi sinar
Persiapan unit terapi sinar.
• Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan (bila perlu), sehingga suhu dibawah lampu antara 38ºC sampai 30ºC.
• Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung flouresens befungsi dengan baik.
• Ganti tabung/ lampu flouresens yang telah rusak atau berkelip-kelp (flickering).
o Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.
o Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung masih bisa berfungsi.
• Gunakan linen putih pada basinet atau incubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi.
 Pemberian terapi sinar
o Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.

Gambar 2.3 Bayi dalam unit terapi sinar

o Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam incubator.
o Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.
o Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.
o Balikkan bayi setiap 3 jam.
o Pastikan bayi diberi makan.
o Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang setiap 3 jam.
o Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata.
o Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
o Bila bayi menerima per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah), tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari (tabel 3) selama bayi masih diterapi sinar.
o Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi dari sinar terapi sinar.
• Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tiinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.
• Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:
o Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak bisa dilakukan dalam unit terapi sinar.
o Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sebentar untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru).
• Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi lebih dari 37,5ºC, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5ºC-37,5ºC.
• Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:
o Hentikan terapi sinar bila kadar serum biilirubin <13 mg/dL.
o Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfuse tukar (tablel 4), persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfuse tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi.
• Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.
• Setelah terapi sinar dihentikan:
o Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus meggunakan metode klinis.
o Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada diatas nilai untuk memulai terapi sinar, ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada dibawah nilai untuk memulai terapi sinar.
• Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.
• Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasehat untuk membawa kembali bila bayi bertambah kuning.
Bilirubin di kulit cepat menghilang selama terapi sinar. Warna kulit tidak bisa dijadikan acuan untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi masih dalam terapi sinar dan dalam 24 jam setelah penghentian terapi sinar.
 Komplikasi terapi sinar
Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversible.
Tabel2.5 Komplikasi terapin sinar
Kelainan Mekanisme yang mungkin terjadi
Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat laktase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss ( 30-100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamine

 Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas terapi sinar
Intensitas radiasi, kurva spectrum emisi dan luas tubuh bayi yang terpapar. Intensitas cahaya yang diperlukan 6-12 nm. Terdapat hubungan antara dosis dengan degradasi bilirubin sampai dosis saturasi tercapai. Hal ini bisa dicapai dengan memberikan paparan pada permukaan kulit secara maksimum dari 40 µW/cm2 per nm cahaya yang sesuai. Diatas titik saturasi, peningkatan intensitas tidak memberikan efek tambahan apa-apa.
Efikasi terapi sinar meningkatkan dengan meningkatnya konsentrasi bilirubin, tetapi tidak efekif untuk menurunkan konsentrasi biilirubn dibawah 100 µmol/l. Penurunan sebanyak 50% dapat dicapai dalam 24 jam dengan kadar bilirubin >15 mg/dL menggunakan cahaya biru yang memiliki spectrum emisi yang sama dengan spectrum absorpsi bilirubin.
Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etologi ikterus. Terapi sinar paling efektif untuk bayi premature yang sangat kecil dan paling tidak efektf untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan hematokrit. Selain itu makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin efektif.
Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit yang tidak adekuat, sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radasi menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak), lampu flouresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spectrum dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif.

 Transfusi tukar
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibody maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.
 Darah donor untuk transfusi tukar
1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru ( usia <7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan bank darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan traansfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crrossmatched terhadap bayi.
4. Pada iinkomtabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus ( - ) atau rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah anti body A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibody anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang noninum, darah donor ditiping dan croosmatched terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Transfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ----160 mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

 Teknik Tranfusi Tukar
1. SIMPLE DOUBLE VOLUME. Push-Pull technique : jarum infuse dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
2. ISOVOLUMETRIC. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan dimasukan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
3. PARIAL EXCHANGE TRANFUSION. Tranfusi tukar sebagian, diilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.

 Pelaksanaan transfusi tukar:
1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan, pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.
2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruanng NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga sterilitasnya.
3. Persiapan Alat.
4. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap.
a. Lampu pemanas dan alat monitor
b. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kainn penutup steril
c. Masker, tutup kepala dan gaun steril
d. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, peenampung darah
e. Set tranfusi 2buah
f. Kateter umbilicus ukuran 4,5,6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath
g. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
h. Selang pembuangan
i. Larutan Calsium glukonas 10%, CaC12 10% dan NaCl fisiologis
j. Meja tindakan

 Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan trnsfusi tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfuse tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam table 5.
Tabel 2.6 Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum
Usia Bayi Cukup Bulan Sehat Dengan faktor resiko
mg/Dl mg/dL
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
Hari ke-4 dan seterusnya 30 20

Bila transfuse tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar diatas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Table 2.7 Indikasi transfuse tukar pada bayi berat badan lahir rendah.
Berat badan ( gr) Kadar bilirubin (mg/dL)
<1000 10 – 12
1000-1500 12 - 15
1500-2000 15 – 18
2000-2500 18 – 20

Keterangan:
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tansfusi tukar apabila ada indkasi:
1. Kadar bilirubin tali pusat >4,5 mg/dL dan kadar Hb <11 gr/dL.
2. Kadar bilirubin meningkat >6 mg/dL per 12 jam walaupun sedang mendapat terapi sinar.
3. Selama terapi sinar bilirubin meningkat >6 mg/dL per 12 jam dan kadar Hb 11-13 gr/dL.
4. Didapatkan anemia yang progresiif walaupun kadar biliirubin dapat dikontrol secara adekuat dengan terapi sinar.

 Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
• Embol (emboli,bekuan darah),trobmosis
• Hperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglkemia
• Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
• Perforasi pembuluh darah
 Komplikasi transfusi tukar
• Vascular: emboli udara atau trombus, trombosis
• Kelainan jantung : aritmia, overload, henti jantung.
• Gangguan elektrolit : hipo/ hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis.
• Koagulasi : trombos topenia, heparinisasi berlebihan.
• Infeksi : bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan..
• Lain-lain : hipotermia, hipoglikemia.
 Perawatan pasca transfusi tukar
• Lanjutkan dengan terapi sinar.
• Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi.
 Persiapan tindakan transfusi tukar
1. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari orang tua penderita.
2. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila transfuse harus segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya.
3. Pasang infuse dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mongering kompres dengan NaCl fisiologis.
4. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar albumin < 2,5 gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albuminbilirubin di dalam darah meningkat sebelum transfusi tukar sehingga resiko kernikterus menurun, kecuali ada kontra indikasi/transfuse tukar harus segera dilakukan.
5. Pemeriksaan laboratorium pra transfusi tukar antara lain semua elektrolit, dektrostik, Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya serta kultur darah.
6. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai transfuse tukar.
7. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label darah).

 Jumlah Donor Darah yang Dipakai
Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50 mL/ kgBB, 100 mL/kgBB , 150 mL/kgBB dan 200 mL/KgBB maka darah bayi yang terganti berturut-turut adalah sebagai berikut : 45%, 70%, 85% dan 90%.
 Pemasangan Kateter Vena Umbilikalis/Abbocath
1. Bayi diletakkan dalam posisi telentang. Fiksasi dengan lengan dan tungkai, dijaga agar tidak banyak bergerak (diikat longgar).
2. Pasang alat monitor yang dibutuhkan (neonatal monitoring). Suhu bayi dipertahankan pada suhu optimal atau jika ada meja resusitasi bayi diletakkan di bawah lampu pemanas/sorot dengan jarak 2 meter.
3. Semua tindakan harus dilaksanakan secara aseptic dan antiseptic, personil yang terlibat langsung harus mamakai gaun, sarung tangan, dan masker steril.
4. Bersihkan daerah sekitar tali pusat atau tempat lain yang akan dipasang abbocath dengan cairan antiseptic, tutup dengan kain steril yang berlubang ditengah sehingga tampak tali pusat/daerah yang akan dipasangkan abbocath.
5. Jika dilakukan melalui vena umbilikalis, bersihkan dengan betadine 10%, tali pusat dipotong kurang lebih 1 cm di atas dasar/ kulit abdomen dengan scalpel/pisau steril.
6. Jika tali pusat kering, lunakkan dengan kompres NaCl fisiologis selama ½-1 jam.
7. Vena umbilikalis dicari dan masukkan kateter vena sesuai ukuran bayi, diisi NaCl fifologis. Kateter dimasukkan sampai (1) tampak ada darah mengalir dari tubuh bayi atau (2) pada posisi aman, yaitu ujung kateter sedikit di atas diafragma dan di dalam vena cava inferior ( ukuran sekitar panjang dari bahu kiri/ kanan ke tali pusat kemudian diukur ke diafragma khusus ukuran kateter tali pusat). Kateter harus diisi cairan untuk mencegah emboli udara.
8. Setelah kateter vena umbilikalis terpasang dilakukan fiksasi dengan jahitan melingkari kulit/tali pusat diameter 1,5 cm dengan benang sutra steril.
9. Jika kateter gagal dipasang vena umbilikalis, transfusi dapat dilakukan di vena saphena magna.
10. Kateter atau abbocath dihubungkan dengan three way stopcock, bagian depan dengan selang infuse donor dan bagian belakang dengan selang infuse pembuangan yang telah dihubungkan dengan botol kosong di bawah botol tindakan.

 Pelaksanaan Transfusi Tukar
1. Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10 – 20 mL atau tergantung berat badan bayi, jangan melebihi 10% dari perkiraan volume darah bayi.
2. Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three way stopcock. Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai darah ini karena belum bercampur dengan darah donor.
3. Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2 mL/KgBB/ menit.
4. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar beredar dalam sirkulasi.
5. Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama sampai target transfusi tukar selesai.
6. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada lembaran observasi transfusi tukar.
7. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat (ACI/ PCD) setiap transfusi 100 mL diberikan 1 mL calcium glukonas 10% intra vena perlahan-lahan. Pemberian tersebut terutama bila kadar kalsium sebelum transfusi < 7,5 mg/dL. Bila kadar diatas normal maka kalsium glukonas tidak perlu diberikan. Pemberian larutan kalsium glukonas harus dilakukan secara perlahan-lahan, karena bila terlalu cepat dapat mengakibatkan timbulnya bradikardi/cardiac arrest. Beberapa peneliti menganjurkan untuk tidak memberikan kalsium kecuali pada pemeriksaan fisik dan elektrokardiografi menunjukkan adanya tanda-tanda hipokalsemia.
8. Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus diawasi dengan neonatal monitoring.
9. Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan pasca transfusi tukar.
10. Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang, dilakukan jahitan silk purse string atau ikatan kantung melingkari vena umbilikalis. Ketika kateter dicabut jahitan yang mengelilingi tali pusat dikencangkan.

Diharapkan dengan adanya terapi yang tepat, bayi akan dapat terselamatkan dari berbagai macam kemungkinan buruk atau komplikasi serius kearah yang prognosisnya lebih buruk. Selain itu, dalam kasus HDN diperlukan adanya pencegahan sensitisasi Rh. Seperti kita ketahui bersama bahwa risiko sensitivitas awal ibu dengan Rh negative menurun dari antara 10 – 20% hingga kurang dari 1% dengan dilakukan injeksi intramuscular 300g anti D globulin manusia (mL RhoGAM) dalam 72 jam post persalinan atau aborsi. Jumlah ini cukup mengeliminasi sekitar 10 mL sel janin yang mungkin bersifat antigenic dari sirkulasi darah ibu. Pemindahan darah dari janin ke inu yang besar mungkin memerlukan RhoGAM yang lebih proporsional. RhoGAM diberikan pada 28 s/d 32 minggu kehamilan dan juga pada saat lahir (40 minggu), dapat lebih efektif dari dosis tunggal. Penggunaan teknik ini, digabungkan dengan metode sensitisasi itu yang diperbaiki dan menghitung besarnya transfusi janin ke ibu, ditambah menggunakan prosedur obstetric n yang lebih sedikit yang dapat menambah resiko pendarahan janin ke ibu dan selanjutnya akan mengurangi eririblastosis fetalis atau HDN.

K. Karakteristik Bayi
1. Usia kahamilan.
Kejadian ikterus pada bayi baru lahir menurut beberapa penulis barat berkisar antara 50% pada bayi yang dilahirkan cukup bulan dan 75% pada bayi yang dilahirkan kurang bulan (Sarwono, 2002).
Menurut (Nelson) hiperbilirubinemia lebih sering terjadi pada bayi aterm karena keseluruhan 6 – 7% bayi cukup bulan memiliki kadar bilirubin yang lebih besar dari 12,9% mg/dL. Menurut (Ngastiyali, 1994), pada bayi pretem kenaikan kadar bilirubin serum cenderung lebih lambat dari cukup dan jangka waktu tergantung pada imaturitas dan metabolisme.
2. Berat badan bayi.
Berat badan lahir besar umumnya mempunyai kecenderungan lebih sering mengalami trauma lahir, tetapi keadaan ini masih dipengaruhi oleh cara kelahiran dan pihak penolong. Menurut teori (Keay), hiperbilirubin terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu: 34,5% dan 62,5% pada berat badan lahir normal. Hal ini disebabkan neonatus dengan berat badan antara 2500 – 4000 gram memiliki metabolisme yang tinggi, selain itu juga produksi bilirubin relatif lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram.
Sedangkan berat badan lahir rendah atau bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram juga sering mengalami hiperbilirubin disebabkan karena organ tubuhnya yang masih lemah disebabkan karena fungsi hepar yang belum matang atau terdapat gannuan dalam fungsi hepar seperti hipoksia, hipoglikemi, asidosis, dll sehingga mengakibatkan kadar bilirubin meningkat.
Sedangkan neonatus dengan berat badan > 4000 gram juga memiliki metabolisme bilirubin yang tinggi karena hatinya sudah matur, tetapi cenderung mengalami trauma lahir ( Ngastiyali, 1994).
3. Jenis persalinan.
Jenis persalinan spontan cenderung lebih besar sebagai penyebab trauma dibandingkan dengan section sesarea (Sarwono, 2005). Pada kelahiran spontan angka kejadian bayi dengan hiperbilirubin 48,3% disusul kelahiran seksio sesaria 32,6%, ekstraksi vakum 13,3% dan forcep 5,8%.
Tetapi jika menderita hiperbilirubin pada setiap jenis persalinan, maka seksio sesaria merupakan presentase terbesar karena seksio sesarea merupakan jenis persalinan dengan resiko paling kecil dibandingkan dengan jenis persalinan lainnya. Umumnya bayi dilahirkan secara seksio sesaria setelah mempertimbangkan beberapa faktor resiko yang terjadi selama kehamilannya.
Sedangkan vakum dan forcep mempunyai kecenderungan pendarahan intracranial dan cephal hematom pada kepala bayi sehingga tindakan ini jarang dilakukan (Sarwono, 2005).

4. Jenis kelamin.
Jenis kelamin adalah perbedaan laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini penulis mengkategorikan laki-laki dan perempuan merupakan salah satu penyebab hiperbilirubinemia karena obstruksi aliran empedu. Atresia empedu paling sering terjadi pada perempuan cukup bulan dengan berat badan lahir normal. Pasien-pasien ini jarang mengalami splenomegali atau nemolisis. Sebaliknya bayi dengan hepatic neonatal (sel raksasa), kebanyakan laki-laki dengan tanda-tanda infeksi seperti splenomegali hemolisis dan retardasi pertumbuhan intrauterine, sehingga angka kejadian hiperbilirubin relative lebih besar terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Nelson, 1999).
Menurut (Hanafi, 1994) bahwa pada bayi laki-laki bilirubin lebih cepat diproduksi dari pada bayi perempuan, hal ini karena bayi laki-laki memiliki protein Y dalam hepar yang berperan dalam uptake bilirubin ke sel-sel hepar.
L. Kerangka Teoritis.
Menurut teori Lawrence Green (1980) seperti dikutip Notoatmodjo, 2003 bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan dan tradisi sebagai faktor predisposisi disamping faktor pendukung seperti lingkungan fisik, prasarana dan faktor pendorong yaitu sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya.
Kerangka konsep merupakan sebagian yang menjadi fokus penelitian yang disunting dari kerangka teoritis tersebut. Kerangka konsep dituliskan dalam bentuk bagan yang berisi variabel bebas dan variabel terikat dari masalah yang akan diteliti.
Secara umum kerangka konsep digambarkan sebagai berikut :
VARIABEL BEBAS














BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
Dari tinjauan pustaka diperoleh gambaran dari factor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hiperbilirubin. Kerangka konsep yang dibuat disini adalah berdasarkan pada tinjauan pustaka yang diaplikasikan dalam kerangka konsep dan merupakan variabel yang mudah dinilai dan diukur dalam pelaksanaan penelitian nanti.
Berdasarkan pada teori Lawrence Green, maka kerangka konsep yang diajukan dalam penelitian dalam penelitian ini dapat terlihat pada skema sebaga berikut:



Keterangan:
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti

B. Definisi Operasional
Definisi operasional pada karakteristik hiperbilirubin pada neonatus di RS Medika Cikarang Periode Januari-Juli 2008 adalah sebagai berikut :
No Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
1 Usia gestasi Usia kehamilan saat bayi dilahirkan dinyatakan dalam minggu Melihat medical record Checklist 0. usia kehamilan <37 minggu
1. usia kehamilan 37-42 minggu
2. usia kehamilan >42 minggu Ordinal
2 Berat badan lahir Berat badan pada saat bayi dilahirkan yang dinyatakan dalam gram Melihat medical record Checklist 0. BBL <2500 gr
1. BBL 2500-4000 gr
2. BBL >4000 gr Interval
3 Jenis persalinan Melihat medical record Checklist 0. SC
1. Spontan
2. Ekstrasi vakum
3. Ekstrasi forcep Ordinal
4 Jenis kelamin Perbedaan antara laki-laki dan perempuan Melihat medical record Checklist 0. laki-laki
1. perempuan Nominal





BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode deskriftif yaitu metode penelitiaan yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan yang obyektif (Notoatmodjo, 2004).
B. Tempat Penelitian
Tempat: Bagian perinatal dan bagian Medical Record RSU Cibitung Bekasi
Waktu : Tanggal 20-22 Juli 2009
C. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah “keseluruhan subyek penelitian, apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian maka penelitiannya merupakan penelitian populasi”.
Sesuai dengan penelitian diatas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi baru lahir di RSU Cibitung Bekasi Periode Januari- Juli 2009 yaitu sebanyak 318 bayi dan yang mengalami hiperbilirubin sebanyak 40 bayi.
b. Sampel
Sample adalah “sebagian atau wakil dari populasi yang teliti.” Apabila subyek penelitian kurang dari 100, maka lebih baik diambil seluruhnya sehingga penelitian merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil 10 – 15% (Suharsini Ari Kunto, 1996).
Maka dalam penelitian ini, peneliti mengambil sample sebanyak 40 kasus bayi yang mengalami hiperbilirubin di RSU Cibitung Bekasi Periode Januari-Juli 2009.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi, yaitu pengambilan data yang diperoleh dari rekam medik sub bagian perinatal RSU Cibitung Bekasi Periode Januari-Juli 2009.
E. Proses Pengumpulan Data
Dalam proses ini, peneliti mengolah data sekunder dengan cara manual yaitu dengan menggunakan kalkulator dan menghitung banyaknya neonatus yang mengalami hiperbilirubin sehingga diperoleh angka kejadian. Peneliti menyajikan data dalam bentuk tulisan menurut variabel yang diteliti.
Adapun proses pengolahan data dilakukan setelah data dikumpulkan lengkap dan dilakukan pengelompokan terlebih dahulu kemudian dihitung dan dimasukkan secara manual.
Dilakukan dengan cara mentabulasi data, kemudian disusun dalam table frekuensi distribusi sesuai dengan variabel yang diteliti dihitung dengan presentase dengan rumus:

P = F/n X 100%
Keterangan:
P = jumlah presentase yang dicari
F = jumlah frekuensi jawaban
n = jumlah responden